Jumat, 01 November 2019

Perundingan Renville

Agresi Militer Belanda I mendapat reaksi keras dari dunia Internasional, khususnya dalam forum PBB. Dalam rangka upaya penyelesaian damai, maka Dewan Keamanan PBB membentuk Komisi Tiga Negara (KTN). Negara-negara KTN yakni Australia (Pilihan Indonesia) diwakili oleh Richard Kirby, Belgia (Pilihan Belanda) diwakili oleh Paul van Zeeland, Amerika Serikat (Pilihan Indonesia & Belanda) diwakili Frank Porter Graham. KTN selanjutnya mengusulkan sebuah perundingan yang diselengarakan di atas kapal Angkatan Laut Amerika Serikat yang bernama USS Renville yang berlabuh di Teluk Jakarta. Perundingan ini dikenal dengan nama perundingan Renville.
 Agresi Militer Belanda I mendapat reaksi keras dari dunia Internasional Perundingan Renville
Picture: Ilustrasi USS Renville
Delegasi;
  • Indonesia—Amir Syarifuddin Harahap (Ketua Delegasi)
  • Belanda—Abdul Kadir Widjojoatmodjo (Ketua Delegasi)
  • KTN—Frank Porter Graham & Richard Kirby (Mediator Perundingan)
Kesepakatan;
  • Penghentian tembak-menembak.
  • Belanda hanya mengakui Jawa Tengah, Yogyakarta, & Sumatera sebagai bagian wilayah Republik Indonesia.
  • Disetujui sebuah garis demarkasi yang memisahkan wilayah Indonesia & daerah penduduk Belanda.
  • TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah pendudukan Belanda di Jawa Timur.
  • Belanda bebas membentuk negara-negara federal di daerah-daerah yang didudukinya dengan melalui masa peralihan terlebih dahulu.
Dampak bagi Indonesia;
  • Wilayah Indonesia menjadi sempit dan dikelilingi wilayah-wilayah yang dikuasai Belanda.

Kesepakatan yang dicapai pada perundingan Renville ternyata diingkari oleh Belanda. Pada 19 Des 1948, Belanda melancarkan Agresi Militer Belanda II. Belanda berhasil menduduki ibu kota RI, Yogyakarta. Para pemimpin Indonesia seperti Ir. Soekarno & Drs. Moh. Hatta ditahan & diasingkan ke Bangka.

Sebelum Yogyakarta jatuh, Pemerintah Republik Indonesia telah membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia/PDRI di Sumatera Barat. PDRI ini, dijalankan oleh Mr. Syafruddin Prawiranegara. Selain itu juga, dibentuk Komando Perang Gerilya yang dipimpin oleh Jenderal Sudirman. Pasukan Indonesia yang sebelumnya ditarik dari daerah pendudukan Belanda diinstruksikan kembali ke daerah masing-masing untuk melaksanakan perang secara gerilya.

Selama Agresi Militer II, Belanda selalu mempropagandakan bahwa setelah ditahannya pemimpin-pemimpin Republik Indonesia, maka pemerintah Republik Indonesia sudah tidak ada. Namun, propaganda Belanda itu bisa digagalkan oleh PDRI. PDRI membuktikan kepada dunia internasional bahwa pemerintahan Indonesia masih berlangsung.

Sudah di Revisi
Source: Departemen Pendidikan Nasional/Kemendikbud.